Mengembalikan Status Propinsi Daerah Istimewa Surakarta



Imam Samroni

Pernyataan posisi
Telaah terhadap “perjanjian sosial” (du contrat social), yang semula dilontarkan John Locke (1632-1704), memajukan bahwa untuk pendirian masyarakat warga (civil society) berisikan tiga unsur terpenting. Pertama, adanya hukum yang mengatur bagaimana masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai. Kedua, adanya suatu pemerintahan yang melaksanakan hukum tersebut. Dan ketiga, adanya suatu badan yang dapat melaksanakan sengketa yang timbul antara pemerintah di satu pihak dan masyarakat di pihak lain (vertical dispute), atau antar-masyarakat (horizontal dispute).

J.J. Rousseau (1712-1778) juga menulis tentang kontrak sosial. Terdapat pergeseran bahwa masyarakat tidak lagi diperintah berdasar kehendak raja, diktator, atau siapapun, tetetapi berdasar hukum. Berdasar paparan Locke, Montesquieu (1689-1755) menyarankan pemisahan terhadap ketiga unsur tersebut. Badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif perlu dibentuk untuk masing-masing unsur guna mencegah agar kekuasaan absolut eksekutif (konteks saat itu adalah raja) tidak timbul lagi dalam bentuk lain dan menjadi kekuasaan absolut legislatif atau yudikatif. Kekuasaan yang tak terbatas hanya akan berakibat kepada kekuasaan yang merusak secara tak terbatas. Konsep pemimpin yang baik hati (benevolent leader) merupakan perjudian dengan taruhan masyarakat itu sendiri.

Semuanya sangat penting sebagaimana semuanya sudah kerap diperbincangkan. Penelusuran terhadap suara masyarakat tentang Propinsi DIS (Daerah Istimewa Surakarta), menurut BPPS DIS, adalah mengapresiasi aktualisasi keterlibatan masyarakat dalam proses budaya bernegara. Budaya yang menghimpun seperangkat atau susunan makna yang mengendalikan perjalanan gagasan dan operasi bernegara di antara masyarakat. Dari pandangan masyarakat, dengan demikian, budaya bernegara merupakan wadah di mana masyarakat menemukan dunianya, mengungkapkan perasaan, dan membuat penilaian .
Kuatnya aspirasi masyarakat (solus populli) ini, yang dengan kecintaannya terhadap nasib Propinsi DIS, dalam beberapa hal, telah berubah menjadi supremasi kepentingan masyarakat (the supreme of public interest). Sehingga, konteks yang menjadi agenda BPPS DIS adalah bagaimana aspirasi ini bisa memperoleh justifikasi sebagai suprema lex, dengan basis moral secara hukum, dan ternyatakan dalam sistem peraturan perundang-undangan. Kaidah yang menjadi rujukan adalah adanya target mutu yang diharapkan (quality control), jaminan mutu capaian (quality insurance), serta perwujudannya dalam bentuk, struktur kelembagaan, mekanisme kerja, monitoring, evaluasi, dan penilaian hasil –bagaimana pun tentang agenda mengembalikan status Propinsi DIS.

Risalah-risalah yang menyatakan
Berdasar pasal 18 UUD 1945, yang disusun BPUPKI dan disahkan PPKI pada 19 Agustus 1945, dinyatakan bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah- daerah yang sifatnya istimewa.”

Risalah rapat PPKI pada 19 Agustus 1945 mencatat bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas delapan propinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, Sumatera, serta dua Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta.

Sehari sebelumnya, 18 Agustus 1945, Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII menyampaikan kawat dan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia diikuti maklumat dukungan berdiri di belakang Republik Indonesia pada 1 September 1945 yang berisi:

  1. Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia.
  2. Hubungan Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.

Atas dasar maklumat itu, Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945 memberikan piagam kedudukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. Dengan demikian, merujuk Pasal 18 UUD 1945, keputusan PPKI, dan piagam kedudukan yang dikeluarkan Presiden, Negeri Surakarta Hadiningrat –yang pada masa pendudukan Belanda mempunyai status sebagai zelfbesturende landschappen dan berubah nama menjadi Kooti pada masa pendudukan Jepang– statusnya tak berubah, yaitu tetap sebagai daerah dengan susunan asli di luar tiga provinsi yang ada di Jawa yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Kedudukan Daerah Istimewa Surakarta secara hukum
Swapraja adalah pemerintahan asli yang kedudukan hukumnya pertama-tama berdasar atas hukum asli pula, tetapi kemudian sebagian statusnya tercantum dalam suatu Politik Kontrak.

Politik kontrak merupakan perjanjian untuk menentukan batas-batas hak dan kewajiban antara Pemerintah (Pusat) dan Swapraja. Dengan adanya politik kontrak, maka daerah pemerintahan asli dalam tatanegara Hindia Belanda dinamakan dan mempunyai status zelbersturende landschappen. Status tersebut berbeda dengan daerah otonom biasa sehingga penyelesaiannya harus juga berbeda.

Dalam pasal 18 UUD 1945 disebutkan “… Daerah-daerah yang bersifat istimewa” atau dalam Pasal 18 huruf B hasil amandemen UUD 1945 telah diubah menjadi “Satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.” Daerah-daerah yang disebutkan dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum diamandemen) meliputi landschappen dan Adatgemenschappen. Sedangkan dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 disebutkan dalam teritori negara terdapat kurang lebih 250 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemmenschappen.

Daerah-daerah tersebut mempunyai susunan asli, dan karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dengan segala peraturan yang mengenai daerah itu akan mengingat hak-hak asal usul daerah tersebut. Dengan demikian, berdasar UUD 1945, kedudukan swapraja atau daerah istimewa tetap dijamin, dengan tidak ada kemungkinan dihapuskan.

Konteks lahirnya Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946
Bahwa memasuki 1946, di wilayah DIS muncul gejolak politik yang dimotori kelompok kiri. Muncul aksi-aksi sepihak berupa penculikan dan pembunuhan terhadap pejabat-pejabat DIS. Ujung dari gerakan itu adalah munculnya Pemberontakan PKI Madiun 1946. Perdana Menteri Syahrir pernah mengalami penculikan saat mengadakan kunjungan kerja ke Surakarta.

Menghadapi situasi tersebut, Pemerintahan DIS meminta Pemerintah yang berkedudukan di Yogyakarta mengambil tindakan. Karena itu, dilakukan serangkaian pembicaraan antara Wakil Pemerintahan DIS yang dipimpin KRMH Woerjaningrat dengan Perdana Menteri Syahrir di Gedung Bank Indonesia Surakarta. Beberapa hari sebelum rapat, Perdana Menteri Syahrir dan Woerjaningrat telah membicarakan sebab-sebab timbulnya gerakan pengacau. Dari pembicaraan itu akhirnya dapat diduga bahwa gerakan-gerakan yang timbul bukan dari rakyat, melainkan dari golongan-golongan atau perorangan saja dan DIS hanya menjadi batu loncatan untuk menentang kekuasaan Pemerintahan. Dugaan itu ternyata benar, terbukti dengan adanya usaha-usaha menghentikan kekuasaan Gubernur Soerjo dan Soetardjo sebagai wakil-wakil Pemerintah di Surakarta, penculikan terhadap Perdana Menteri Syahrir, dan pemberontakan PKI Muso.

Untuk mengatasi keadaan itu, sebagai wakil pemerintah DIS, Woerjaningrat mengusulkan agar jalannya Pemerintahan DIS diambilalih Pemerintah dan bila situasinya sudah aman akan dikembalikan. Sebagai realisasi dari usulan Woerjaningrat, yang juga tokoh BPUPKI, pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946, tanggal 15 Juli 1946, tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Jogjakarta.
Bahwa pada pasal kedua Penetapan Pemerintah tersebut dinyatakan:

“Sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-Undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan Karesidenan, dikepalai oleh seorang Residen yang memimpin segenap pegawai pamong praja dan polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang Residen di Jawa dan Madura luar Daerah Surakarta dan Jogjakarta.”

Sedangkan pasal enam dinyatakan:

  1. Pemerintahan di daerah-daerah Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat.
  2. Membaca Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946 tersebut hanya untuk sementara waktu memandang daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai Karesidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan dengan undang-undang.
  3. Dalam hal ini tak ada maksud dan tujuan Pemerintah Pusat untuk menghapuskan daerah Surakarta yang bersifat istimewa.
  4. Di samping itu, Daerah Surakarta yang dipandang sebagai Karesidenan masih mempunyai sifat istimewa tercermin dalam kata-kata “Pemerintahan di daerah-daerah Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat” dan secara de fakto sifat istimewa tersebut masih terus diakui.
  5. Sifat istimewa dari Daerah Surakarta tak mungkin dapat dihapuskan karena ketentuan itu ada dalam Pasal 18 UUD 1945. Adanya kesadaran bahwa persatuan dan kesatuan bangsa harus tetap ditegakan. Juga adanya Piagam Kedudukan dari Presiden Republik Indonesia kepada Susuhunan Paku Buwono XII sebagai kepala Daerah Istimewa Surakarta yang diberikan melalui Menteri Negara Mr Sartono
  6. Bahwa sampai sekarang janji pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang untuk Daerah Istimewa Surakarta sebagaimana tercermin dari Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946 sampai sekarang belum direalisasikan. Janji itu sesungguhnya merupakan utang pemerintah kepada Daerah Surakarta yang punya sifat istimewa.

Landasan sosiologis dan politis
Terbentuknya suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara pada intinya dapat mengambil referensi dari teori integrasi seperti disampaikan OF. Birch. Pertama, integrasi nasional adalah proses menyatunya kelompok-kelompok masyarakat dalam bidang politik historis, sosio kultural, interaksi (transportasi-komunikasi), dan ekonomis, sehingga menjadi kelompok yang lebih besar daripada kelompok daerah, tetapi bukan kelompok internasional yang punya identitas berbeda dari kelompok lain sesamanya. Kedua, integrasi negara yakni proses munculnya kelompok penguasa yang menguasai wilayah bangsa itu secara bertahap yakni:
a)    menundukan saingan-saingannya
b)    menentukan batas-batas kekuasaannya
c)    menciptakan polisi dan pengadilan untuk menciptkan ketertiban
d)    tahap penetrasi administrasi yaitu pembentukan birokrasi untuk melaksanakan UU dan pengumpulan pajak.

Dalam konteks subnasional mungkin bisa dirunut setelah adanya perjanjian Westphalia yang mengakibatkan imperium Romawi kehilangan kekuasaan. Dalam konteks subnasional pada umumnya, negosiasi tersebut dilakukan melalui penundukan diri melalui penyesuaian-penyesuaian produk hukum. Bercermin dari pengalaman Inggris, maka sepatutnya monarkhi juga memperoleh hak-hak privilage tertentu yang dirumuskan berdasar kesepakatan-kesepakatan antara struktur pemerintahan modern dan monarkhi.

Oleh sebab itu, jika hal tersebut diletakkan dalam konteks Surakarta, maka langkah yang patut dipertimbangkan adalah:

  1. Melakukan inventarisasi hak-hak yang dimiliki oleh Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran yang tercermin di dalam kewenangan-kewenangan dan atau urusan-urusan yang melekat secara tradisional.
  2. Jika dasarnya adalah negoisasi antara monarkhi dengan pemerintahan modern, maka negoisasi konsep termasuk tawar-tawaran alterantif harus dilakukan antara Keraton dan Mangkunegaran dengan Pemerintah RI. Negoisasi meliputi tata pemerintahan dan kewenangan-kewenangan yang akan dirumuskan.
  3. Legitimasi adalah hak memerintah berdasar perpaduan antara kenyataan sosio historis suatu bangsa dan nilai-nilai universal. Sepanjang kenyataan, sosio historis itu substansinya mampu mengikuti perubahan tuntutan zaman.
  4. Merumuskan Keistimewaan Surakarta dan dasar Undang-Undang Daerah Istimewa Surakarta dengan sumber dasar dan utama yang harus diingat adalah:
  • Pasal 18 UUD 1945 maupun Pasal 18 Huruf B UUD 1945 hasil amandemen
  • Maklumat Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII pada 1 September 1945 yang menyatakan Surakarta bergabung dan berdiri di belakang RI
  • Piagam Kedudukan Presiden RI Soekarno pada 19 Agustus 1945 yang mengakui Surakara sebagai Daerah Istimewa.

Agenda Penyelarasan berdasar sumber hukum Propinsi DIS

  1. UUD 1945, BAB IV Pasal 18 (Pra dan pasca-Amandemen); Surat Keputusan Presiden Soekarno, 19 Agustus 1945; Makloemat Sri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan, 1 September 1945; Maklumat Kepala Markas Besar Umum TKR, 30 Oktober 1945.
  2. UU No. 16 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Surakarta; Ditetapkan di Yogyakarta, 5 Juni 1947, oleh Soekarno (Presiden) dan Moh. Roem (Menteri Dalam Negeri) dan diumumkan pada 5 Juni 1947 oleh A.G. Pringgodigdo (Sekretaris Negara).
  3. UU No. 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok Tentang Pemerintahan Daerah; Ditetapkan di Yogyakarta, 10 Juli 1948, oleh Soekarno (Presiden) dan Soekiman (Menteri Dalam Negeri) dan diumumkan pada 10 Juli 1948 oleh Ratmoko (Wakil Sekretaris Negara).
  4. UUD RIS (Konstitusi RIS) BAB II, BAB III Pasal 64-67; Ditetapkan pada 27 Desember 1948.
  5. UUDS 1950 Pasal 131-133. UUDS 1950 ditetapkan berdasar UU No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Ditetapkan di Jakarta, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS, 14 Agustus 1950.
  6. UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; Disahkan di Jakarta, 17 Januari 1957, oleh Soekarno (Presiden), diundangkan pada 18 Januari 1957 oleh Sunarjo (Menteri Kehakiman, a.i. dan Menteri Dalam Negeri).
  7. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; Disahkan di Jakarta, 1 September 1965, oleh Soekarno (Presiden) dan diundangkan pada 1 September 1965 oleh Mohd. Ichsan (Sekretaris Negara) dalam Lembaran Negara Tahun 1965 No. 83.
  8. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; Disahkan di Jakarta, 23 Juli 1974, oleh Soeharto (Presiden) dan diundangkan pada 23 Juli 1974 oleh Sudharmono S.H. (Menteri/Sekretaris Negara) dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 38 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 3037.
  9. Surat Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1998 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta; Ditetapkan di Jakarta, 16 Juli 1988.
  10. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Disahkan di Jakarta, 7 Mei 1999, oleh Bacharuddin Jusuf Habibie (Presiden) dan diundangkan oleh Akbar Tanjung (Menteri Negara Sekretaris Negara) dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3839.
  11. UU No. 32 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Disahkan di Jakarta, 15 Oktober 2004, oleh Megawati Soekarno Putri (Presiden) dan diundangkan pada 15 Oktober 2004 oleh Bambang Kesowo (Sekretaris Negara Republik Indonesia) dan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.