Tentang Jejaring Kota Baru, Yogyakarta


5 Mei 2021

Ada yang saya camkan saban bertandang ke Kota Baru, Yogyakarta. Teras depan yang bersahaja, tuan rumah yang memuliakan tamu, dan jeda di antara perbincangan yang senantiasa menggugah pemahaman dan perhatian.

Saya mengenal Mas Adib Susila ketika masih berkuliah di IKIP Yogyakarta, karena adiknya –Mas Ajib Seyabudi– adalah kakak kelas di jurusan FSP FIP angkatan 1984. Seingat saya, pertemuan pertama dengan Mas Adib adalah ketika sama-sama menonton pentas Leo Kristi di Taman Budaya Yogyakarta, tahun (?). Dan ruang mengalir, menggulirkan waktu, mengukur gerak vektor: Adakah sesuatu yang dapat dinyatakan sebagai catatan pribadi untuk satuan-satuan besar?

Pengajian adalah pengkajian, keikhlasan menerima segala tiba adalah membaca dan menuliskan sebagaimana urutan turunnya wahyu alAlaq dan alQalam. Saya mengenal Mas Adib dengan penghormatan sebagai sahabat yang menawarkan kemungkinan jawaban (-jawaban).
Meskipun Akin, Baron, dan Ulya –putra Mas Adib– sudah tumbuh-kembang menggantikan kalender, kapasitas hapalan surat-surat saya masih memalukan, apalagi untuk belajar dasar-dasar bahasa alQuran. Dan Mas Adib tetap menerima saya dengan labirin pertanyaan.

Suatu saat ketika teman-teman berkabar bahwa komunitas Kota Baru tengah menimbang tawaran untuk mendirikan Partai KAMI (Kebangkitan Muslim Indonesia) di Jogja, 1999. Suatu waktu manakala Mas Adib yang didaulat sebagai kepala suku Jogja sudah berjawab dan kami mengalami malam-malam tanpa tidur. Saya sempat bercerita ke sejumlah teman, bahwa saya akan mengakhiri periode sebagai warga yang golput, bergabung dengan Partai KAMI, menjadi sekretaris untuk DPD Partai KAMI Kota Yogyakarta, dan mengurus kelengkapan caleg.

Di Kota Baru dan di Jetisharjo rumah keluarga (alm.) Bapak Khanafia –kediaman mas Yusuf CK– tetap tersedia waktu untuk membincang mimpi tentang model Madinatul Munawarah, ketika saya jenuh sebagai anggota PPD Kota Yogyakarta. Kereta kelas ekonomi mendekatkan jarak Jogja-Jakarta. (Sayang saya tidak mempunyai dokumentasi foto ketika bersarung di kereta, meski masih mengaku sebagai jamaah dari Komunitas Kaoem Bersaroeng). Suasana eforia juga mendekatkan sahabat di sejumlah kota di Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, yang banyak membantu untuk “keajaiban” KAMI: masing-masing 1 kursi untuk DPRD DIY, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul.

Ada permainan bahasa yang direpro selama kampanye yang ganjil: KAMI berjuang bukan demi kursi, yen wis menang ya ngapa? Tersesat di jalan yang benar, dsb.

Dengan bersahaja dan tidak ada eforia saya diputuskan untuk berangkat ke Malioboro 54, gedung DPRD DIY, periode 1999-2004. Tetap ada khasanah tentang “menuju abad belum bernama,” ensiklopedia tentang Islam Indonesia, pergerakan mahasiswa, juga jejaring media. Tahun-tahun di mana saya jarang di rumah dan tetap ada kehangatan dari sudut teras depan rumah Kota Baru.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.