Bertaklim ke Tuan Djamhari Maskat
Strategi perang “massa x kecepatan” ala Napoleon Bonaparte (dan pemasaran produk, dalam perkembangannya) tentu tak bisa diterapkan untuk berkampanye oleh partai gurem, KAMI (Kebangkitan Muslim Indonesia) DIY pada 1998. Saya mengingat putaran diskusi saban malam di Poros Jetisharjo – Kota Baru. Di dalam kondisi tersebut, (alm.) Mbah Bakir memajukan diksi Jawa “ketoro, ketari, ketarik”: Terlihat, tertarik, dan nyoblos.
Kampanye pun terselenggara bahwa KAMI adalah jamu komplit: Apa pun ada. Pencanangan bulan Iqra’ per 1999-2002 di Mlati, Sleman; orasi politik di Bunderan UGM; diskusi lintas-kampus, melarung beratus-ratus kapal kertas di Selokan Mataram; melobi kantung-kantung maslahah kawan-kawan golput — untuk menyebut sejumlah kegiatan. Menyebar selebaran “Jurkam” (Jurusan KAMI), poster Pertemuan Ciganjur, dan kaos; memasang spanduk “Sultan Presiden Kami” di Pasar Ngasem; membagikan pamflet “Yang Penting Azasnya, Bung” (dengan meniru tagar iklan kretek Djarum saat itu) dan “Pejah Gesang nDherek Gusti Allah”; mengelaborasi angka 5 sebagai nomor urut partai (dari 48 parpol); berkereta kelinci saat karnaval “Dari Jogja Kita Selamatkan Indonesia;” dan mengoptimalkan kinerja opini di media massa. Honor sebagai peserta lokakarya The British Council & Westminster Foundation for Democracy pada 26-27 April 1999 turut menambah gizi berkampanye dengan kaidah ketoro, ketari, ketarik.
Lanjutkan membaca “KAMI: Closed!” →