Masadepan, Bencana, dan Pengharapan


serambi-jumat18

Serambi Jumat KORAN MERAPI 8 Juni 2007

“Setiap bangsa mempunyai impian, seperti halnya masing-masing dari kita butuh masadepan yang mampu menggerakkan keseharian. Tetapi, benarkah kita mampu menyusun perkiraan masadepan dan apa jaminannya bahwa perkiraan tersebut menjadi kenyataan?”
Kami semua terdiam mendengar model pertanyaan-diri Pakde Adib Susila tadi malam, saat kajian rutin di masjid kampung. Peristiwa demi peristiwa setelah setahun gempa 27 Mei memajukan banyak pertanyaan: Kehilangan sanak-keluarga dan sahabat, pekerjaan, rumah, juga optimisme. Kami berusaha menjawabnya, apalagi dengan isu SMS akan adanya bencana yang lain. Pakde Adib Susila menambah:

“Masadepan bisa bermakna ’perintah,’ jika seluruh kecenderungan niscaya terpenuhi. Apa-apa yang tadinya tidak ada, tidak mungkin ada, atau malah tidak terbayangkan ada, tetapi karena sudah diramalkan maka ada ikhtiar untuk memenuhinya. Sebaliknya, masadepan bisa dimaknai ’larangan,’ yaitu segenap upaya untuk membuktikan kesalahan ramalan atau menghindari apa yang sudah diramalkan.“

“Menurut Prof. Noeng Muhadjir, prediksi adalah membuat ramalan atau perkiraan ke depan berdasar pengetahuan yang rinci dan teratur. Orang Jawa menyebutnya ilmu titen. Sedangkan antisipasi adalah kemampuan membuat perkiraan masadepan dengan langgam yang berbeda. Ini masalah kemampuan untuk menangkap tanda-tanda masalampau dan menampilkan pengharapan masadepan yang mampu menggugah nurani kamanungsan,“ tambah Pak Edi Safitri.

“Warga Amerika mempunyai impian tentang hak kehidupan, kebebasan, serta kebahagiaan — dan untuk itulah negara didirikan. Negara hanya mengurusi masalah-masalah duniawi (hablum minannaas), sedangkan masalah hubungan dengan Tuhan (hablum min-Allah) diserahkan kepada masing-masing warga. Untuk itu, warga membutuhkan kebebasan pribadi untuk mampu bersaing di masyarakat. Dengan garansi inilah warga merasa aman untuk hidup. Sebaliknya, warga Eropa justru mengedepankan kerjasama dan kebersamaan untuk mewujudkan impiannya,” Dik Yusni menjelaskan.

“Bagaimana dengan kita, dik Yusni?” sela saya.

“Lha ‘kita’ itu siapa? Bagaimana ‘kita’ dipahami dan disikapi?” Dik Yusni justru bertanya ke peserta kajian.
“Kita adalah warga yang mengalami musibah kemarin. Kita kerja-bersama dengan yang lain untuk saling menolong, menguburkan jenazah, memerbaiki rumah, mengelola bantuan yang masuk …,” jawab Mang Ucup.

”Kita adalah orang yang melihat dan mendengar, juga membaca berita tentang sebagian pengurus pokmas yang membelokkan bantuan, yang mestinya untuk kita,” tambah Pak Edi Safitri. ”Mengapa bencana terjadi dan harus menimpa kita? Apa maknanya? Bagaimana menyikapi SMS bahwa akan ada gempa lagi?”

”Maknanya adalah kita perlu membaca (iqra’) lagi,” tegas Paklik Sriyono. ”Bencana kebakaran dan asap setiap musim kemarau. Petaka banjir dan longsor saban musim hujan. Musibah kelaparan ketika gagal panen atau BBM dinaikkan. Ada tawuran massal jika jagonya kalah pilkadal. Kita butuh membaca dan menuliskannya. Kita perlu melepas selimut yang selama ini menutupi diri. Kita mengabaikan kedisiplinan. Bangkit dari keterpurukan bencana menjadi niscaya. ”

”Iya-ya, bagaimana harapan masadepan disusun jika kita disibukkan pengelolaan pasca-bencana yang penuh syak-wasangka? Mengapa hanya untuk bertegur sapa perlu demonstrasi segala? Jangan-jangan kita sudah bebal dan tidak amanah dengan penjelasan Paklik Sriyono barusan,” jawab dik Yusni. “Untuk mengatur irigasi sawah yang rutin menjadi masalah saban kemarau, kita hanya baru bisa membacanya.”

”Adanya ’kita” ya karena adanya saya, panjenengan, juga yang lain sebagai makhluk Allah. Jika saya tidak disiplin, yang lain ’kan harus menanggung bencana, petaka, musibah, dan tawuran massal. Bukankah yang kita perbuat selalu dicatat malaikat sebagai aparat Allah dan kelak kita akan membaca hasil audit tersebut. Pemimpin yang korup membuat rakyat terbelenggu, rakyat yang korup membebani pemimpin untuk disiplin. Kebenaran hari ini menjadi terpasung dan masadepan hanya menjadi impian, tidak dapat diikhtiarkan,” simpul Pakde Adib Susila.

Ya Allah, saya jadi merenung: Bagaimana bencana hari ini mampu dikelola menjadi pengharapan masadepan kami? Bagaimana telinga mendengar kebaikan yang telah dituliskan, mata melihat kebenaran diserukan, dan nurani menyimak proses audit Allah yang Mahabenar? WaLlahu a’lamu bishshawab.

Imam Samroni, staf PSI UII

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.