Membaca Aksara dan Dibaca


serambi-jumat124

Serambi Jumat KORAN MERAPI 7 September 2007

“Berdasar data 2006, tercatat 12.881.080 warga Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang masih buta aksara, di mana 81,3% tersebar di 10 provinsi dan 68,5% adalah perempuan. Menurut UNESCO, buta aksara adalah warga yang tidak mampu membaca dan menulis secara sederhana untuk keperluan sehari-hari.”
“Terima kasih, dik Yusni. Karena 8 September besok adalah Hari Aksara Internasional ke-48, kita akan mengkaji hal-ihwal aksara,” Pakde Adib Susila, ketua takmir sekaligus pengasuh membuka kajian. Dik Yusni pun menutup buku catatannya. “Mari kita membaca bersama al-Quran surat Luqman ayat 27:
‘Dan jika sesungguhnya pepohonan di bumi jadi pena, dan laut kemudian ditambah lagi tujuh laut (menjadi tinta), niscaya tidak akan habis (dituliskan) kalimah Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.’”

“Saya teringat kasus di Brebes awal 2005 dulu. Karena buta aksara, seorang nenek tak bisa membedakan kemasan antara susu bubuk dan bubuk pembasmi hama bawang merah. Maka melayanglah nyawa sang cucu akibat minuman bikinan nenek,” kata Pak Edi Safitri.

“Masya Allah. Kejadian seperti itu kok banyak dan terulang. Untuk itu, ada program Pemberantasan Buta Aksara sebagaimana disampaikan dik Yusni tadi,” komentar Paklik Sriyono. “Agar warga mampu membaca kalimat Allah.”

“Sejarah mencatat betapa beragamnya aksara di Nusantara. Dari aksara Pallawa, Kawi, Jawa, Batak, Arab, latin, dan lain-lain, semuanya menyampaikan isi kalimat yang luar biasa,” tambah Pakde Adib Susila. ”Dari mimbar ini kita diperintahkan untuk melakukan ’iqra’ sebagaimana pesan QS al-Alaq ayat 1-5. Berdasar urutan turunnya, lantas surat al-Qalam. Mari kita baca bersama ayat 1:
‘Nun, perhatikanlah pena dan apa yang mereka tuliskan.’”

“Bukankah membaca dan menulis merupakan dasar pendidikan, Pakde Adib Susila?” tanya Mang Ucup.

“Bahkan menjadi dasar peradaban dan kebudayaan, Mang,” tegas Mas Fauzi. “Al-Quran memberi dasar pijak yang kuat. Pada surat al-Baqarah ayat 282:
‘Dan apabila kamu membuat perjanjian perikatan, hutang piutang, tuliskanlah, dan mestilah seorang notaris di antara kamu menuliskannya dengan adil.’”

“Jika buta aksara, berarti tidak mampu menulis dengan adil,” usul saya.

“Iya. Perintah Allah adalah menulis perjanjian perikatan sekaligus menggunakan notaris dengan adil,” jawab Dik Brahim. “Masalahnya adalah kasus-kasus wakaf yang dihibahkan hanya secara lisan, bukan ditulis.”

“Mengapa perintah Allah yang mu’amalaat kurang begitu diperhatikan ketimbang yang ‘ubudiyaat?” tanya saya lagi.
“Mungkin bermula dari pemahaman yang salah kaprah dan sudah menjadi budaya. Ingat! Kita juga bisa mengalami, meskipun sudah tidak buta aksara, sudah melek huruf, melek ilmu dan teknologi, dan sebagainya, tetapi tetap buta. Kita sudah membaca aksara, tetapi ketika dilihat oleh umat yang lain ternyata jalan di tempat dan tidak beranjak,” kata Paklik Sriyono.

“Apa maksudnya, Paklik Sriyono?” tanya Mang Ucup.

“Saat membaca aksara, kita sekaligus membaca gerak perubahan, kebaruan, dan keanekaragaman dari aksara jaman itu sendiri. Saat membaca aksara, bacaan kita sekaligus dibaca umat yang lain. Sudah sampai mana kita membaca? Ketertinggalan atau ketersesatan kita adalah akibat dari sikap yang cepat berpuas diri,” jawab Paklik Sriyono.

Ya Allah, terima kasih untuk pencerahan ini. Dari kajian yang bersahaja, kami memaknai al-Quran dengan aksara kauniyyah, dengan keadaan dan keberaksaraan umat. Dari simpul-simpul inilah kami yakin bahwa membaca dan menulis aksara menjadi dasar untuk kebangkitan. WaLlahu a’lamu bishshawab.

Imam Samroni, staf PSI UII

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.