Faktor Budaya Pun Berpengaruh


LIPUTAN KHUSUS:
Kedaulatan Rakyat, Rubrikasi 31/03/2008 08:45:53

BANYAKNYA warga DIY yang buta aksara memang cukup memrihatinkan. Menurut anggota Komisi D DPRD DIY, Nicolaus Langgeng Suksmanto, tingginya jumlah buta aksara ini disebabkan banyak faktor. Tidak hanya persoalan kemampuan pendapatan warga DIY yang banyak berada di garis kemiskinan, tetapi juga faktor budaya masyarakat yang hanya pasrah dalam hidup, sehingga merasa tidak perlu anaknya sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Menurut Nicolaus yang biasa dipanggil Nico ini, untuk menekan buta aksara ini, perlu dipilah penyebabnya. Apakah mereka yang tidak melek huruf ini sudah usia tua atau masih pada usia dini. Kalau pun sudah tua, apa penyebabnya sehingga mereka ini tidak bisa membaca. “Ada kalangan orang tua yang merasa tidak usah anaknya disekolahkan. Karena toh untuk mencari uang tidak perlu sekolah. Pandangan yang keliru ini perlu diluruskan, sehingga ada kesadaran untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin,” ujarnya.
Untuk program pemberantasan buta aksara di usia tua ini memang perlu dilakukan oleh Dinas Pendidikan. Paling tidak, kemampuan ini bermanfaat untuk aktivitas sehari-hari. Sedangkan untuk buta aksara pada usia dini, menurut Nico perlu penanganan yang cepat dari pemerintah. Jangan sampai kemudian penanganannya terlambat, sehingga semakin banyak masyarakat yang mengalami buta aksara.
Untuk pemberantasan buta aksara pada usia dini, sudah dianggarkan dalam APBD DIY. Anggaran itu diperuntukkan bagi upaya mendesak orang tua untuk menyekolahkan anaknya.

Pelanggaran HAM
Diakui, stigma terhadap penyandang buta aksara selalu dipertautkan dengan kemiskinan pengetahuan, keterampilan serta keterbelakangan. Padahal, membiarkan kebutaaksaraan merupakan pelanggaran HAM. Sebab, setiap orang di dunia harus memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan, sebagaimana tertuang dalam salah satu deklarasi PBB.
Pemerintahan SBY-JK sendiri telah mencanangkan Gerakan Percepatan Pemberantasan Buta Aksara (PBA) per 2004, beserta konsekuensi anggarannya. Jika APBN 2004 hanya mengalokasikan Rp 80 miliar untuk gerakan tersebut, tahun 2007 mencapai Rp 567 miliar. Target pencapaian program PBA adalah penurunan 50 persen dari 12,8 juta warga yang buta aksara pada akhir 2009.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Network for Education Development (INfED), H Imam Samroni SPd, hasil survei yang dilakukan BPS dan Depdiknas tahun 2007 memperlihatkan masih tingginya warga usia produktif, 70 persen di antaranya perempuan yang buta aksara. Dari total 18,1 juta warga, sekitar 4,35 juta berusia produktif 15-44 tahun, 13,4 juta berusia di atas 45 tahun dan 336.785 orang berusia 10-14 tahun.
Berdasar fakta di atas, Gerakan Percepatan PBA niscaya menjadi agenda bersama masyarakat pendidikan. PBA merupakan jawaban strategis terhadap sejumlah krisis multidimensi yang berkepanjangan, yang sudah menjadi krisis kemanusiaan berbasis kualitas manusia. Pertanyaannya, bagaimana kita membaca, menyikapi, dan menindaklanjuti PBA ala Yogya, karena ada tantangan pemeringkatan kemelekaksaraan digital (e-readiness)?
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, menurut Imam Samroni, PBA merupakan tanggung jawab dan tanggung gugat pemerintah terhadap usaha-usaha yang sudah diselenggarakan kaum pergerakan tentang pentingnya kemelekaksaraan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah mengambil alih dan menjadikannya sebagai bagian dari pendidikan populer. Sejak 1960-an pemerintah menggelar program kursus A, B dan C. Kemudian, 1970-an program PBA menjadi paket A1-A100 untuk belajar suku kata. Pada 1980-an ABRI menyelenggarakan Operasi Bakti Manunggal Aksara (OBAMA). Pada 1990-an menjadi program paket A (setara SD), B (setara SMP) dan C (setara SMA).
Terdapat pergeseran dalam strategi pendekatan program, dari target membaca-menulis-menghitung menjadi aksara fungsional. Artinya, konteks pendekatan PBA adalah pengentasan kemiskinan lewat pembinaan keterampilan hidup (life skills). Desain program PBA bukan sekadar membelajarkan warga agar mampu berbahasa Indonesia serta melek huruf semata, namun untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan bermata pencaharian yang fungsional untuk kehidupan sehari-hari. Dasar filsafatnya, pendidikan merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, sehingga PBA mempertautkan pendidikan dan keadilan dalam kebutuhan dan kebergunaannya menurut masyarakat itu sendiri.
Analisis terhadap sejumlah program PBA membenarkan dasar filsafat di atas. Misalnya, pengalaman Haswa (2007), pegiat pendidikan  di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Keinginan ibu-ibu di Muna untuk dapat memanfaatkan fasilitas SMS pada telepon seluler merupakan motivasi untuk segera bebas dari buta baca-tulis.
Demikian juga pernyataan Dadang S Muchtar (2007), Bupati Karawang, Jawa Barat, tentang keberhasilan PBA dengan pola 114 jam 32 hari sudah mampu membaca empat suku kata. Warga yang sudah mengetahui benda tetapi tidak kenal huruf akan repot sendiri ketika mencari nafkah. Sebagaimana diketahui, program Depdiknas untuk memelekaksarakan warga butuh waktu 114 jam dalam 42 hari. q -b

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.