Demi Tahun Baru


serambi-jumat12

Koran Merapi SERAMBI JUMAT 2 Januari 2008

“Demi waktu. Pasti semua orang akan berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang mau beriman dan bekerja dengan baik serta saling berwasiat untuk menegakkan kebenaran dan saling berwasiat untuk bersabar”
Kami bersama membaca surat Al Ashr ayat 1-3. Datar, hening, juga bersemangat. Kami memang tengah mengkaji apa itu “waktu“. Kami menulis kosakata selain waktu, dengan pemahaman dan pengalaman masing. Mas Brahim bilang “saat,“ saya bilang “tempo,“ Pak Edi Safitri usul bahasa Yunani yaitu “tempus,“ Pak Yusdani katakan “time,“ dan lain sebagainya. Perkakas penerjemah di internet memperkenalkan kata “waktu“ dalam bahasa seluruh dunia.


Tentang waktu yang hilang, Pakde Adib Susila membaca tulisan Marcel Proust, sastrawan Perancis, In Search of Lost Time: “Dan demikian pula dengan masa silam kita. Adalah kerja yang sia-sia untuk merengkuhnya kembali: segala upaya intelek kita niscaya akan berujung gagal. Masa silam lenyap sembunyi di luar telatah pengetahuan, di seberang jangkauan intelek, di dalam obyek-obyek bendawi (dalam sensasi yang akan diruahkan oleh obyek-obyek bendawi itu pada kita) yang keberadaannya tak menilaskan pratanda apa pun. Dan bergantung pada nasib dan peluang buta belaka, dapat tidaknya kita bersua dengan obyek-obyek itu sebelum pada akhirnya kita meninggal.”

Kami mendengar dengan mata hati. Atau, Pakde Adib membaca Marcel Proust dengan lirih. Sampai akhirnya, Paklik Sriyono memberi kode kepada Mas Brahim untuk menayangkan kegiatan kami seminggu terakhir ini.

“Kita berada di dalam arus sejarah besar. Foto-foto perayaan tahun baru, yang diterima Mas Brahim, menegaskan di mana kita mengambil arus sejarah besar tersebut,” Paklik Sriyono berkata pelan dan tegas. “Dalam arus waktu sejarah, mari kita kenali keimanan kita, kerja, juga saling berwasiat tentang kebenaran dan bersabar.”

“Pencerapan indera, uang, dan waktu telah menjadi tanda. Ini kesan saya setelah menonton foto-foto barusan,“ komentar Kang Heri Winarto. “Kita memilih arus sejarah besar yang mana, juga menjadi pilihan.”

“Ya, ternyata banyak pesan yang dasyat dengan tiga ayat Al Ashr di atas,“ kata Mang Ucup. “Dipastikan bahwa semua orang akan berada dalam kerugian. Karena saya orang, berarti saya mah ikut yang rugi-rugi, ….“
“Kecuali, … mereka yang mau beriman dan bekerja dengan baik serta saling berwasiat untuk menegakkan kebenaran dan saling berwasiat untuk bersabar,” Pak Yusdani melanjutkan.

“Kanjeng Rasul Muhammad Saw. Bersabda, ‘Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.’ Kita sudah belajar bersama betapa banyak kosakata tentang waktu. Kita sudah membuat hitung-hitungan sederhana apa arti 24 jam per hari, 3600 detik per jam, juga satuan yang lain.”

Pakde Adib Susila mengajak kami untuk membaca-ulang catatan tentang seminggu kami. Sungguh, betapa kami mempercumakan waktu. Bukankah Khalifah Umar sudah menetapkan Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) dengan latar sejarah yang panjang? Bukankah kami sudah berdiam diri di serambi masjid dengan lintasan foto yang hiruk-pikuk dengan terompet? Kami meneguhkan kembali sejumlah niatan untuk 1430 Hijriyah dan sekaligus 2009 yang lebih baik. Wallahu a’lamu bishshawab.

Imam Samroni, staf Yayasan NUN-XXV, Yogyakarta

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.